Self-Diagnosis, bisa kita artikan sebagai tindakan melakukan diagnosis terhadap diri sendiri berdasarkan informasi tertentu, terutama informasi yang didapat melalui internet.

Saat ini, internet telah menyediakan berbagai informasi seputar kesehatan (fisik dan mental) yang membantu seseorang mengenali gejala yang dialami. Namun, penelitian justru menunjukkan lebih banyak dampak negatif dari self diagnosis dibandingkan dampak positifnya.

Kenapa?

Internet adalah terobosan yang luar biasa dalam bidang teknologi yang mengubah banyak aspek kehidupan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi di internet. Salah satunya, kemungkinan bahwa informasi yang didapat tidak akurat/valid, disalahartikan, atau justru keduanya.

Kemudahan akses internet sebenarnya memang memiliki beberapa manfaat. Misalnya, mencari gejala-gejala yang dirasakan saat ini sebelum melakukan kunjungan dokter, sehingga memberikan gambaran umum tentang kondisi kesehatan, atau mencari penjelasan yang sederhana guna lebih memahami istilah medis.

Nah, yang perlu diperhatikan, terkadang orang-orang langsung mengambil kesimpulan dari satu informasi yang didapatkan, termasuk mengenai kondisi kesehatan mental. Mereka menggunakan informasi tersebut untuk menjadi tolak ukur bahwa mereka memiliki “gangguan mental” tertentu tanpa berkonsultasi dengan tenaga profesional (psikolog/psikiater). Padahal, menentukan adanya “gangguan mental” pada diri seseorang tidak sesederhana itu loh…

Pencarian informasi di internet dapat menjadi screening awal untuk memahami gejala terkait kesehatan mental yang kita rasakan. Namun, alangkah baiknya untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional guna memastikan “gangguan mental” tersebut dan menentukan tindakan seperti apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghindari self-diagnosis yang tidak tepat:

  1. Memastikan bahwa informasi yang didapat berasal dari sumber yang valid atau dapat dipercaya. Misalnya, dari jurnal penelitian, institut kesehatan mental, lembaga pelayanan kesehatan mental, dll.
  2. Jangan cepat mengambil kesimpulan dan cari bebagai informasi dari berbagai sumber, sebagai informasi pembanding. Misalnya, selain dari internet, kita dapat mencoba bertanya dengan teman atau orang lain, namun tetap diingat, hanya sebagai pembanding.
  3. Hindari melakukan tes-tes psikologi secara online. Hal ini sudah banyak ditemui di internet, baik tes kepribadian menggunakan gambar, tes gangguan depresi, dll. yang tentu saja, kredibilitasnya patut diragukan.
  4. Jangan jadikan sosok selebriti/tokoh fiktif/penderita gangguan lain sebagai rujukan. Ini juga BIG NO. Meskipun kamu merasa memiliki kemiripan gejala, kondisi tiap orang dapat berbeda, begitu pula dengan penanganannya.
  5. Jangan ragu untuk meminta bantukan ke psikolog atau psikiater.  Apabila diperlukan, terutama jika gejala yang dirasakan mengganggu keseharian, tidak ada salahnya untuk mencoba berkonsultasi dengan tenaga profesional. Sebagai orang yang ahli di bidangnya, mereka mampu membantu menemukan solusi yang tepat. Belum lagi era modern seperti saat ini memungkinkan untuk melakukan sesi konsultasi jarak jauh, dan tentunya rahasiamu akan terjamin keamanannya.

Jadi, jangan membiasakan diri untuk melakukan self diagnosis terhadap diri sendiri ya, karena jika tidak disikapi dengan bijak, informasi yang kamu dapatkan justru dapat menyesatkan dan merugikan kamu loh, misalnya menyebabkan kecemasan berlebih, salah mendeteksi gangguan mental, hingga memicu gangguan lain (terutama jika gejala awal tidak ditangani dengan tepat).

Referensi:

Akbar, M. F. (2019). Analisis Pasien Self-Diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. 10.31227/osf.io/6xuns.

Ananda. (2022). Self Diagnosis: Pengertian, Ciri, Bahaya, dan Cara Mengatasinya. Artikel: https://www.gramedia.com/best-seller/self-diagnosis/#4_Cara_Mengatasi_Masalah_Self_Diagnosis.

Gass, M.A. (2016). Risks and Benefits of Self-Diagnosis Using the Internet. Salem State University. http://hdl.handle.net/20.500.13013/897. Gobel, S.A.M., Lusiana, E. & Dida S. (2023). Mental Health Promotion: Stop Self-Diagnosing Through Social Media. Jurnal Promkes; The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 11(1), 71-81. Doi: 10.20473/jpk.V11.I1.2023.71-81.