Toxic positivity adalah istilah yang mulai populer ketika konten-konten terkait self-love mulai naik di media sosial. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan situasi di mana maksud “positivity” yang dikampanyekan dirasa kurang tepat. Contoh yang mungkin paling mudah ditemukan adalah konten “body positivity” (terkait obesitas dan bentuk tubuh) dan istilah “happiness is a choice” yang dapat mengarahkan pandangan bahwa seseorang “seharusnya” bisa memilih untuk bahagia apapun keadaan yang dialaminya.

Toxic positivity merujuk pada situasi menerima segala sesuatu dalam pandangan positif dan mengabaikan hingga menekan perasaan, pikiran, atau tindakan yang negatif. Singkatnya, toxic positivity itu seperti memaksakan diri untuk menjadi positif yang justru menjadi negatif.

 “Selalu pikir positif aja”, “Lihat dari sisi positifnya aja”, “Semua terjadi karena ada alasan”, “Terima dirimu apa adanya”, sebenarnya semua frase di atas muncul dengan maksud untuk membantu seseorang menghadapi situasi sulit. Namun,seakan menolak kehadiran emosi negatif. Padahal, emosi negatif itu juga penting. Oleh karena itu, penting untuk merasakan emosi tersebut dan mem-validasinya.

Alih-alih membantu orang lain, frase tersebut dapat menyebabkan orang lain merasakan bahwa perasaannya terabaikan, atau merasa malu dan bersalah. Pada beberapa situasi lain, frase tersebut menghambat seseorang untuk berkembang / menghadapi tantangan yang sesungguhnya diperlukan untuk pengembangan pribadi.

Membantu orang lain (atau diri sendiri) tidak hanya terfokus pada konsep positivitas. Ketika kita bersimpati dengan orang lain pada situasi sulit, kita tidak bisa memaksakan pendekatan positif atau positivitas sesegera mungkin. Namun, yang pertama, adalah menerima bahwa perasaan tidak nyaman tersebut ada dan nyata (validasi). Cobalah untuk tetap tenang, perhatikan dan dengarkan apa yang orang lain katakan (jika Anda di posisi sebagai pendengar), berikan waktu pada diri sendiri untuk berpikir sejenak dengan mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri/orang tersebut, namun jangan berlarut dalam emosi negatif yang dirasakan. Langkah lainnya, cari informasi atau umpan balik dari orang atau sumber lain.

Dengan begitu, kita dapat menerima emosi negatif yang dirasakan pada situasi tidak nyaman, dan mencari tindakan yang tepat untuk mengatasinya, tanpa memaksakan diri untuk menjadi positif hingga mengabaikan emosi negatif yang menghambat pengembangan individu menjadi lebih baik.

References:

Michailidou, E.M. 2023. Toxic Positivity: The Pressure to Always Feel Happy as a Health Care Worker and How to Deal with a Negative Review in The Hospital Workplace. The Importance of Mentoring. British Journal of Healthcare Medical Research, Vol. 10(3), 277-280. Doi: 10.14738/jbemi.103.14865.

https://www.verywellmind.com/what-is-toxic-positivity-5093958#how-to-avoid-toxic-positivityhttps://scholarcommons.sc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1611&context=senior_theses