Ketika ada yang bertanya apa  kesalahan terbesar yang sering dilakukan orang terkait kebahagiaan, jawabannya memang beragam. Namun, satu hal yang paling sering muncul adalah ketidakmampuan  untuk mengelola emosi sendiri. Ini adalah hal  yang sayangnya sering terabaikan.

Secara biologis, emosi, terutama yang negatif seperti marah dan takut, dapat terasa di luar kendali kita. Amigdala kita, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons terhadap ancaman, menjadi sangat aktif, meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan kita untuk mendeteksi bahaya. Ini sangat masuk akal dari sudut pandang evolusi. Namun, dalam dunia modern, stres dan kecemasan cenderung menjadi kronis, bukan sekadar respons sesaat. Akibatnya, stres kronis seringkali mendorong kita pada mekanisme koping yang tidak sehat. Kita mungkin lari ke penyalahgunaan narkoba atau alkohol, terus-menerus merenungkan sumber stres, bahkan menyakiti diri sendiri, atau menyalahkan diri sendiri. Sayangnya, respons-respons ini tidak hanya gagal memberikan kelegaan jangka panjang, tetapi juga bisa memperparah masalah kita, memicu kecanduan, depresi, dan kecemasan yang meningkat.

Para pemikir kuno telah menyadari kesulitan ini dan percaya bahwa kita sebenarnya bisa mengelola reaksi kita secara efektif jika kita memiliki alat yang tepat. Ajaran Buddha, misalnya, mengajarkan bahwa pikiran kita secara kebiasaan tidak seimbang, tetapi bukan secara intrinsik. Kuncinya adalah membangun kebiasaan berpikir yang baru. Demikian pula, kaum Stoa percaya bahwa akal budi manusia, jika dilatih dengan tekun, dapat mengatasi emosi yang spontan. Ide-ide ini, terutama Stoisisme, telah menginspirasi berbagai aliran psikoterapi modern seperti terapi perilaku emotif rasional dan terapi perilaku kognitif. Tujuan utama dari terapi-terapi ini adalah untuk menciptakan strategi praktis guna mengubah reaksi kita terhadap situasi negatif dalam hidup, dan pada akhirnya, menjadi lebih bahagia.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Memulai hari ini, ada empat langkah sederhana yang dapat kita ikuti untuk mengelola emosi negatif yang memuncak:

Pertama, perhatikan perasaan Anda. Cobalah mengamati emosi Anda seolah-olah emosi itu milik orang lain. Dengan begitu, Anda bisa memberikan nasihat yang lebih baik kepada diri sendiri. Anda bisa mulai dengan menulis jurnal tentang kapan Anda merasa sedih, mencatat waktu dan aktivitas yang sedang Anda lakukan. Kemudian, renungkan bagaimana Anda bisa mengubah aspek kecil dari rutinitas Anda untuk meningkatkan suasana hati Anda.

Kedua, terima perasaan Anda. Dalam banyak aspek kehidupan, perasaan negatif adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia yang utuh. Menghilangkannya justru akan membuat hidup terasa kurang lengkap. Banyak penelitian menunjukkan bahwa emosi dan pengalaman negatif justru membantu kita menemukan makna dan tujuan hidup.

Ketiga, turunkan ekspektasi Anda. Tanyakan dengan tenang pada diri sendiri apakah Anda menuntut sesuatu dari dunia yang tidak bisa atau tidak akan diberikannya kepada Anda. Kita tidak seharusnya berasumsi bahwa semua kebahagiaan kita bisa datang dari satu hubungan romantis, satu benda material, atau satu aktivitas saja. Kita membutuhkan pendekatan “portofolio”, menyeimbangkan antara keyakinan atau filosofi hidup, keluarga, persahabatan, dan pekerjaan di mana kita meraih kesuksesan dan melayani orang lain.

Terakhir, dan tak kalah penting, berikan lebih banyak. Sebuah studi menunjukkan bahwa orang yang menganggap diri mereka sebagai korban keadaan, tidak merasa memiliki tanggung jawab apa pun terhadapnya. Mereka juga cenderung menjadi pelaku, menyakiti orang-orang yang mencoba membantu mereka. Salah satu cara untuk memutus siklus ini adalah dengan membantu orang lain secara sukarela. Memahami dan mempraktikkan hal ini adalah salah satu rahasia terbesar menuju peningkatan kesejahteraan. Dengan mengelola emosi kita, menerima apa adanya, menyeimbangkan harapan, dan berbuat baik kepada sesama, kita sejatinya sedang membuka pintu menuju kebahagiaan yang lebih otentik dan berkelanjutan.


Oleh: Ronal Tuhatu, Psikolog


Photo by Brock Wegner on Unsplash